Pada intinya kita semua adalah bagian dari masyarakat pencari kesenangan. Kebanyakan dari kita menghabiskan energi untuk mencari kesenangan, dan disaat bersamaan kita semua cenderung menghindari penderitaan.
Tapi apakah kesenangan selalu sama dengan kebahagiaan? Nggak juga. Sebab ternyata ada perbedaan besar antara kebahagiaan dan kesenangan.
Apa Bedanya Kebahagiaan dan Kesenangan?
Kesenangan berarti momen perasaan sementara yang disebabkan oleh faktor dari luar. Misalnya ketika kamu memakan menu yang sangat lezat, gaji kita naik, dan lain sebagainya. Tapi karena sifatnya sementara, kesenangan tidak akan berlangsung selamanya. Kalau faktor pemicu kesenangannya hilang, maka hilang juga kesenangan yang dialami.
Tapi sebagian besar orang tampaknya kecanduan dengan kesenangan yang sifatnya sesaat. Bukankah kita senang mengkonsumsi segala macam hal yang sifatnya memberi kesenangan sementara? Kita mungkin senang main game selama empat jam setiap hari, dan kegiatan macam itu kita lakukan setiap hari. Nah, main game selama empat jam sehari itu yang sering kita sebut sebagai kesenangan sementara.
Apakah kesenangan sementara identik dengan kebahagiaan? Ternyata tidak. Ada sebuah masalah yang muncul ketika kita berusaha menyamakan kesenangan dan kebahagiaan. Sebab semua orang cenderung terjebak pada persepsi bahwa kebahagiaan mesti ada pemicunya. Tapi ketika pemicu itu hilang, ikut hilang pula kebahagiaan.
Nah, sampai di sini kita berhadapan dengan rumusan kedua: kebahagiaan tidak identik dengan kesenangan sesaat. Maksudnya begini: kalau kamu senang memakan chips, misalnya, maka ketika chips itu tidak ada, kamu akan merasa baik-baik saja.
Seseorang bisa merasa bahagia ketika menikmati chips, namun tidak tergantung pada chips untuk meraih kebahagiaan. Hidup dan kebahagiaan seseorang tidak tergantung pada seberapa banyak chips yang dimakan dalam sehari. Terdengar rumit? Mari kita coba simak satu kasus Thomas, pencari kebahagiaan.
Thomas berhadapan dengan seorang psikolog. Dia adalah seorang pria, lebih tepatnya pebisnis, dengan kemakmuran dan keamanan finansial. Hidupnya juga terasa lengkap, berkat kehadiran istri yang cantik dan anak-anak yang sehat. Thomas memiliki rumah yang bagus dan banyak waktu luang untuk menikmati hidup. Masalahnya adalah: Thomas tidak bahagia.
Dari luar Thomas tampak bahagia, dan dia memang memiliki segala pra-syarat kebahagiaan. Terkadang dia menikmati satu momen kesenangan sementara, seperti ketika menonton pertandingan sepakbola atau bersosialisasi dengan kawan-kawan dekatnya. Tetapi di luar kesenangan macam itu, dia kerap merasa depresi dan sering mengalami kecemasan.
Saking parahnya kecemasan yang dialami Thomas, dia sering mengalami sakit perut. Thomas sudah berkonsultasi dengan dokter, dan sumber penyakitnya itu berasal dari rasa stres. Thomas kemudian pergi ke seorang psikolog untuk mencari solusi.
Dalam sebuah sesi konsultasi dengan psikolog, diketahui belakangan bahwa keinginan terdalam Thomas adalah mengontrol orang dan segala macam kejadian yang ada di sekitarnya. Di lubuk hatinya, Thomas ingin segala sesuatu berjalan seperti maunya, dan percaya bahwa caranya itu akan berhasil.
Dalam kehidupan nyata, Thomas selalu mengkritik istri, teman, anak-anaknya, bahkan pekerjanya. Dia percaya bahwa dirinya benar dan mereka salah, dan Thomas juga percaya bahwa tugasnya adalah untuk membetulkan mereka dengan penilaian dan kritik. Masalahnya bukan hanya kritik yang dilontarkan Thomas, tapi juga pemaksaan kepada orang lain supaya melakukan sesuatu seperti apa maunya. Tadinya cara seperti itu berhasil, dan memberikan kesenangan sementara kepada Thomas. Tapi ketika sakit perutnya semakin parah, dia akhirnya berkonsultasi kepada psikolog.
Sang psikolog dan Thomas mulai bekerja bersama mencari akar kebahagiaan yang bisa menyelesaikan masalah Thomas. Akarnya sederhana: Thomas akhirnya memilih untuk menjadi orang yang ramah, peduli, penuh kasih sayang, sekaligus lemah lembut dengan dirinya sendiri dan orang lain. Sederhananya, Thomas belajar bahwa kebahagiaan alami akan datang ketika dia mampu menunjukkan keramahan dan cinta, tidak hanya kepada dirinya sendiri, melainkan kepada orang lain juga. Sejak itu, sakit perutnya pergi dan lenyap begitu saja.
Dari Thomas mungkin kita semua bisa belajar satu hal: kebahagiaan utuh takkan bisa didapat dari kesenangan sesaat. Mungkin rumusnya begini: kalau kita merasa senang akan sesuatu, bukan berarti kita lantas merasa bahagia dengan apa yang kita senangi.
sumur : disni